![]() |
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat, Siska Gerfianti |
“Masyarakat semakin menyadari kalau
kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sudah bukan dianggap sebagai hal
yang tabu atau aib bagi keluarganya,” ungkap Kepala Dinas Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Siska Gerfianti
saat berbincang di Basa Basi Podcast Pokja PWI Kota Bandung, Senin, (5/5/2025).
Berdasarkan data yang dihimpun DP3AKB
Jabar kasus kekerasan yang terjadi di Jawa Barat selama kurun waktu tahun 2024
sebanyak 3.084 Kasus meliputi kekerasan terhadap Anak 2.939 kasus (63%)
sementara kasus kekerasan terhadap Perempuan sebanyak 1.145kasus (17%).
Sedangkan jumlah kasus yang masuk melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
Perlindungan Anak dan Perempuan di Jawa Barat sebanyak 948 kasus kekerasan yang
meliputi, kekerasan terhadap anak 472 kasus (49,7%) dan kasus kekerasan
terhadap perempuan 476 kasus (50,2%).
“Pengaduan tidak hanya bersumber dari
korban secara langsung, masyarakat yang melihat, mendengar atau mengetahui
adanya tindak kekerasan juga dapat melaporkan melalui saluran yang tersedia.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga mendorong masyarakat untuk lebih peka dan
berani melapor. Jika mengetahui adanya kasus kekerasan,” ungkap Siska.
Terkait korban maupun saksi yang
melapor diungkapkan Siska akan mendapatkan Hak Perlindungan untuk memastikan
terhindar dari intimidasi atau pembalasan dari pelaku. Sebagaimana dijamin
melalui Undang-undang No. 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban.
“Kami dari DP3AKB dan UPTD PPA dapat
menyediakan Rumah Perlindungan Sementara. Dan apabila terdapat ancaman yang
lebih serius terdapat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai
Lembaga Negara yang bertugas untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi
saksi dan korban kekerasan,” terangnya.
Guna memudahkan masyarakat maupun
korban tindak kekerasan Pemprov Jabar telah membentuk Unit Pelaksana Teknis
Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) tingkat Provinsi hingga
Kota/Kabupaten yang akan melayani Pengaduan, Penjangkauan, Layanan Pengaduan Kasus,
Layanan Penyediaan Rumah Perlindungan Sementara (Layanan Pendampingan
Kesehatan, Psikologi, Pendampingan Hukum, Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi
Sosial) dan Layanan Mediasi.
“Pengaduan dapat dilakukan secara
langsung ke Kantor UPTD terdekat maupun melalui Hotline/WhatsApp melalui
hotline Pengaduan UPTD PPA Jabar di nomor 085222206777 (WA) atau melalui SAPA
129. Atau melalui akun medsus Instagram DP3AKB,” jelas Siska.
Sedangkan terkait kasus pelecehan
terhadap pasien oleh salah seorang Dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS)
dan di salah satu Rumah Sakit di Kabupaten Garut yang belakangan viral di Media
Sosial (Medsos), Siska meminta dan mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk
memberikan sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku kepada pelaku.
Untuk memberikan perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jabar baik verbal maupun non verbal DP3AKB, telah menggulirkan Program Jabar CEKAS (Jawa Barat Berani Berani Cegah Tindakan Kekerasan) sebagai upaya Kolaboratif yang melibatkan akademisi, badan usaha juga pembentukan Satgas PAAREDFI CEKAS di setiap desa dan kelurahan dengan melibatkan kader PKK.
”Tugasnya mengkampanyekan 5 Berani;
Berani Mencegah, Berani Menolak, Berani Melapor, Berani Maju dan Berani
Melindungi,” ucapnya.Siska Gerfiani foto bersama usai jadi Narsum di Basa Basi Podcast Pokja PWI Kota Bandung
Begitupun terkait viralnya Gubernur
Jabar Dedi Mulyadi yang gencar mengkampanyekan Program Vasektomi yang
disinyalir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Bantuan Sosial (Bansos).
“Sebetulnya Pak Gubernur tidak hanya
hanya mendorong Vasektomi saja, tetapi kesertaan ber-KB baik wanita maupun
pria. Terutama bagi para penerima Bantuan Sosial Provinsi Jabar. Karena, banyak
diantaranya mempunyai anak lebih dari 3 orang yang akhirnya pola asuhnya, gizi,
kesehatan dan pendidikan maupun hak anaknya terbengkalai. Nah, sebetulnya
niatan Pak Gubernur itu beranjak dari sana,” papar Siska.
Diakhir bahasannya Siska berharap,
Pers bisa berkontribusi memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat
mengenai Hak Korban Kekerasan, cara melaporkan tindak kekerasan maupun lembaga
yang dapat memberikan bantuan terhadap korban dan sanksi atau konsekuensi hukum
bagi para pelaku kekerasan.
“Diharapkan dengan adanya edukasi yang
dilakukan Pers, masyarakat akan semakin menyadari dan berani menentang
kekerasan serta menciptakan lingkungan sosial yang support terhadap korban.
Sehingga tidak muncul stigma yang akan memperburuk kondisi korban. Dan yang
utama Pers mempunyai peran dalam mewujudkan Etika Jurnalistik yang
bertanggungjawab yang tidak menyudutkan korban. Bahkan sampai mengekpos
Identitas korban, serta mengekploitasi penderitaan korban,” pungkasnya. (*/red).