Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Cegah DBD, Mulai Oktober Pemkot Bandung Terapkan Inovasi Wolbachia

Rabu, 30 Agustus 2023 | 14:25 WIB Last Updated 2023-08-30T07:25:15Z
Klik
Nyamuk Aedes Aegypti


 
BANDUNG, Faktabandungraya.com,--  Data dari Dinas Kesehatan Kota Bandung bahwa selama 2022 terdapat 5.205 kasus DBD di Kota Bandung. Jika dibandingkan dari Januari-Juli 2023, kasus DBD turun menjadi 1.281 kasus.

Data kasus DBD ini  disampaikan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Bandung, dr. Ira Dewi Jani.

Ia menyebutkan, trennya dari Januari ke Juli semakin menurun. Bahkan, jika dibandingkan per bulan yang sama di tahun 2022, kasus pun lebih sedikit untuk saat ini.

"Barangkali karena upaya yang dilakukan. Tapi kalau melihat upaya-upaya tersebut, sebetulnya tidak ada yang berbeda signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin juga karena musim panas, sehingga tidak ada genangan air," ujar Ira kepada Humas Kota Bandung, Selasa (29/08/2023).

Guna menekan kasus DBD, maka mulai Oktober 2023, Pemkot Bandung akan mengimplementasikan inovasi bakteri wolbachia ke dalam telur-telur nyamuk Aedes aegypti. Upaya ini baru akan diujicobakan di Kecamatan Ujungberung terlebih dulu.

"Kita sudah uji coba resistensi juga dengan menangkap nyamuk dan telur di Ujungberung. Tahapannya sudah dijalankan," ucapnya.

Pilihnya wilayah Ujungberung sebagai percontohan karena  termasuk dalam 10 kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di Kota Bandung tahun 2022.  Bahkan Kepala UPT Puskesmas Ujungberung  telah mendapat pelatihan mengenai inovasi wolbachia di Yogyakarta.

"Dukungan lintas sektor kewilayahannya juga bagus. Apalagi ini pilot project, jadi harus ada dukungan juga dari masyarakat. Maka dari itu, Ujungberung dipilih sebagai pilot project wolbachia," ungkapnya.

Ira menjelaskan, perantara atau vektor penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti. Dalam nyamuk tersebut ada virus dengue yang menyebabkan seseorang terkena demam berdarah.

Mekanisme inovasi ini, telur nyamuk Aedes aegypti akan disuntikkan bakteri wolbachia, kemudian menetas menjadi nyamuk dewasa. Jika nyamuk tersebut menggigit pengidap virus dengue, maka virus yang dihisap nyamuk akan mati dengan bakteri wolbachia. Sehingga nyamuk Aedes aegypti tersebut tidak akan bisa menyebarkan virus dengue lagi ke tubuh manusia.

"Jangan takut kalau bakteri wolbachia akan masuk ke tubuh manusia. Ukuran bakteri tersebut lebih besar daripada moncong nyamuk. Sehingga saat nyamuk menggigit manusia, bakteri wolbachia tidak akan masuk ke dalam tubuh," katanya.

Ia menambahkan, pada saat implementasi bulan Oktober mendatang, pihaknya akan menitipkan telur nyamuk Aedes aegypti yang sudah disuntikkan wolbachia di dalam ember. Harapannya, nyamuk-nyamuk ini akan menggantikan nyamuk Aedes aegypti yang memiliki virus dengue.

Lalu, nyamuk-nyamuk tersebut bisa kawin dengan nyamuk lokal untuk menghasilkan nyamuk lain yang otomatis sudah memiliki bakteri wolbachia. Sehingga nyamuk Aedes aegypti tidak akan bisa menjadi perantara virus dengue lagi.

"Telur-telur yang sudah disuntikkan wolbachia ini diproduksinya di lab entomologi atau lab serangga. Kota Bandung itu dapatnya dari Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL) Salatiga," paparnya.

Sebenarnya, lanjut Ira, wolbachia sering ditemui dalam keseharian. Bakteri tersebut ada di dalam tubuh lalat buah, hewan-hewan kecil yang biasanya suka terbang di pisang atau buah-buahan.

"Di skema ini, nyamuk Aedes aegypti akan tetap ada untuk keseimbangan ekologis. Tapi dia sekarang sudah mengandung bakteri wolbachia supaya bisa menghentikan penyebaran virus dengue," jelas Ira.

Ke depannya, kata Ira akan ada 33.000 ember yang disebar se-Kota Bandung. Namun, untuk penyebarannya harus melihat dari peta udara dan satelit mengenai luas wilayah serta jumlah hunian. Sehingga tidak bisa disamaratakan jumlahnya tiap kecamatan.

Ira menuturkan, inovasi ini juga bertujuan untuk mengurangi paparan kimia yang tidak sesuai indikasi. Sehingga lebih aman bagi lingkungan, masyarakat, juga secara ekonomis lebih murah. Sedangkan jika dibandingkan dengan fogging, lebih membutuhkan biaya untuk bensin dan obatnya.

"Kalau memang ini bisa diterapkan secara merata, harapannya angka kasus bisa turun karena virus dengue sudah tidak ada. Lalu, fogging juga bisa berkurang, sehingga dananya bisa dialihkan ke hal lain yang lebih penting," imbuh Ira. (din/red).

×
Berita Terbaru Update