Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Syamsul : Perintah UU, Legalitas Perda Harus Ditandatangani Gubernur

Senin, 14 Agustus 2017 | 19:54 WIB Last Updated 2017-08-19T12:55:44Z

Syamsul Bachri, Ketua Komisi V DPRD Jabar
JABAR, FAKTABANDUNGRAYA.COM,--- Ketua Komisi V DPRD Jabar Syamsul Bachri, SH, MBA, mengatakan, sesuai dengan perintah Undang-undang bahwa keabsahan aspek legalitas yuridis Peraturan Daerah (Perda) harus ditanda tangani oleh Gubernur. Tidak satu pasal atau ayat pun dalam UU yang menyebutkan dapat ditanda tangani oleh Wakil Gubernur.

Penegasan ini disampaikan oleh Ketua Komisi V Syamsul Bachri dari Fraksi PDIPerjuangan dalam sidang paripurna DPRD Jabar dengan materi persetujuan bersama Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (P2APBD) yang lalu yang hanya dihadiri Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar.

Kesepakatan penandatanganan oleh Wakil Gubernur Jabar Dedy Mizwar masih menjadi persoalan karena telah keluar dari perintah UU, sehingga dalam sidang paripurna dengan agenda penetapan 4 raperda Jabar menjadi Perda Jabar, Syamsul Bachri melakukan interupsi.

Syamsul mengatakan, UU itu selalu menyebut Gubernur dan tidak ada penjelasan dalam UU bahwa produk hokum (Perda) dapat ditanda tangani oleh Wakil Gubernur. Artinya ketika pasal UU itu tidak dijelaskan, maka tafsirnya harus itu tidak boleh ada tafsir lain.” Tegasnya.

Dan ketika UU juga pasalnya tidak dijelaskan, itu biasanya tidak ditindak lanjuiti dengan peraturan pemerintah, Peraturan Pemerintah itu dibuat dalam rangka membuat tafsirnya menjadi satu. Ketika peraturan pemerintah juga masih menimbulkan multi tafsir maka dapat saja dibuat peraturan menteri. Tetapi dalam pasal itu selalu menyebut, Gubernur, Gubernur, Gubernur, tidak ada wakil Gubernur.

Ketika surat plh itu diberikan secara keseluruhan atas tugas dan wewenang gubernur, maka ketika terjadi kepala daerah atau gubernur yang tidak mampu melakukan tugasnya katakanlah wafat, kalau cukup dengan itu, tidak usah wakil Gubernur menyatakan harus naik jadi gubernur karena tugas plhnya, semua bisa dilaksanakan oleh gubernur. Itulah pentingnya lex specialis bahwa Gubernur disitu berkali-kali disebut tidak ada istilahnya wakil Gubernur harus berkuasa. Ini jadi PR kita bersama, saya tidak menyalahkan siapa-siapa tetapi konstruksi berpikir belum bisa berpikir seperti itu, kalau ada berbeda pendapat itu normal.

“Saya waktu itu hanya minta tolong diparaf saja oleh wakil Gubernur, kemudian disepakati harus ditandatangan, saya menyatakan keluar (WO) karena itu menyangkut persoalan yang sangat prinsip dan urusan yang sangat penting dalam proses ketatanegaraan.” ujar Syamsul

Kemudian atas dasar surat kuasa yang ditandatangi, saya menghormati karena ada waktu yang harus pada saat itu ditandatangani. Tetapi coba kita merujuk pada paripurna 17 April 2017. Paripurna itu dipimpin pak Irfan Wakil Ketua DPRD JAbar terkait laporan pansus IX dan X, wakil Gubernur juga yang hadir,

“Saya sudah protes, interupsi juga, saya keluar dari ruangan ini karena saya menganggap legalitas yuridisnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.” Katanya.

Lebih jauh diungkapkannya. Alasannya waktu itu wakil gubernur sudah dapat surat tugas Plh, saya waktu itu tidak sampai ngotot untuk bisa disampaikan di forum yang terhormat ini, surat mandat, surat tugas atau surat keputusan plh dari kemendagri untuk dibacakan. Karena itu kemudian menjadi kesepakatan dan kesepahaman kawan-kawan yang kemudian saya menyatakan keluar dari ruangan ini.

Ada dua hal yang berbeda, pada saat kemarin ditandatangani yang sama dilakukan Gubernur dan wakil Gubernur harus ada surat kuasa, tetapi pada tanggal 17 April itu tidak ada surat kuasa atau surat apapun, saya mempertanyakan legalitas yang ada pada saat itu ditandatangi oleh wakil Gubernur apa legalitas yuridisnya.

“Ini menjadi PR Bersama dan saya belum mendapat penjelasan, supaya ini tidak menjadi persoalan yang abstrak dan tidak ada realitas bahwa persoalan ketatanegaraan ini harus dipertangungjawabkan secara hokum”, tandasnya. (sein).
×
Berita Terbaru Update