Klik
FAKTABANDUNGRAYA.COM, SUMEDANG - Penyelenggaraan Pemilu serentak yang dilaksanakan 17 April 2019 lalu dan proses rekapitulasi yang masih berlangsung hingga saat ini rupanya banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak. Hal ini mungkin melatarbelakangi Seminar 'Pemilu 2019 : Kompleksitas Pelaksanaan Dan Upaya Penanganan' yang digelar di gedung Fakultas Hukum Unpad Jatinangor, Jumat (26/4/19). Dengan menghadirkan tiga narasumber diantaranya Menurut Ali Nurdin SH., ST., MH selaku praktisi hukum, Prof Susi Dwi Harijanti SH., LL.M., Ph.D. sebagai pakar hukum tata negara dan akademisi, serta Fritz Edward Siregar SH. LL.M., Ph.D. sebagai Anggota Bawaslu RI divisi hukum.
Dikatakan Ali Nurdin selaku praktisi hukum yang sudah banyak mengawal sengketa pemilu sejak 2004 ini memandang bahwa seminar hari ini merupakan upaya dari teman teman akdemisi untuk peduli terhadap proses pemilu di Indonesia yang terkesan adanya upaya delegitimasi. "Kita harapkan dengan adanya diskusi ini apakah memang pemilu sekarang ini sebegitu bermasalahnya atau tidak," ujar Ali Nurdin.
Kalau melihat dari hasil diskusi tadi, kata Ali, memang ada beberapa kekurangan tapi pada prinsipnya pemilu ini merupakan proses mengarah kepada demokratisasi, "sehingga kita harus menjaga agar pemilu ini berjalan dengan baik, dan kalau ada berbagai macam permasalahan kita punya lembaga yang berwenang untuk menyelesaikannya yaitu mahkamah konstitusi, sehingga permasalahan yang ada ya sudah biarkan mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan mengutusnya," ungkapnya.
Menurutnya, jika terjadi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu, mekanismenya bisa diserahkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) untuk memeriksa dan mengurusnya.
"Dan DKPP selama ini sudah terbukti punya integritas, betapa banyak penyelenggara pemilu yang melakukan kecurangan dipecat dan diberhentikan dengan tidak hormat," tuturnya.
"Bahkan terakhir ada dari beberapa anggota KPU propinsi sampai diberhentikan, artinya terhadap dugaan pelanggaran itu, apapun itu kita serahkan kepada lembaga yang berwenang. Kalo ada pelanggaran administrasi pemilu ya ke bawaslu, kalo ada pelanggaran kode etik ke dkpp, kalo ada pelanggaran yang menyangkut hasil pemilu termasuk prosesnya kita serahkan ke mahkamah konstitusi," sambung
Meskipun didalam proses menuju demokrasi yang baik, pria yang cukup banyak pengalaman menangani sengketa pemilu sejak tahun 2004 ini, mengungkapkan beberapa evaluasi yang harus dilakukan, "ya memang ada beberapa permasalahan, terkait regulasi, undang undang pemilu yang selesainya terlalu mepet, kemudian ada putusan mahkamah konstitusi sehingga ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan dan permasalahan, termasuk misalnya terkait dengan penggantian pimpinan kpu yang masuk dalam masa tahapan dan rekrutmen penyelenggara yang bersifat adhoc," paparnya.
"Saya pikir, hal hal ini kedepan perlu diperbaiki termasuk penggantian pimpinan kpu dalam masa tahapan," pungkasnya.
Ditempat yang sama, Fritz Edward Siregar SH. LL.M., Ph.D. sebagai Anggota Bawaslu RI divisi hukum mengatakan bahwa kami tadi sudah menyampaikan apa yang sudah bawaslu lakukan, "termasuk proses pencegahan, pengawasan, penindakannya dan proses penyelesaian sengketa (pemilu), termasuk beberapa hal yang mungkin terkait pemilu 2019 yang masih ada menjadi PR kita," ujarnya.
"Ada PSU, lanjutan, dan susulan yang sudah berlangsung maupun yang akan berlangsung, dan juga jangan dilupakan masih ada proses rekapitulasi yang belum selesai, terus ada proses pemidanaan yang belum selesai, jadi seperti politik uang, ada yang mencoblos lebih dari satu kali, ataupun kampanye di hari pencoblosan, itu juga masih proses dari bagian pemidanaan," tambahnya.
Sampai sejauh ini, lanjut Fritz, laporan pelanggaran pemilu yang diterima Bawaslu sudah mencapai 7952 laporan. Terkait isu kesalahan input yang terjadi pada situng KPU, dirinya enggan berkomentar, "silahkan mas tanyakan langsung ke kpu saja," ucapnya mengakhiri.
Sementara salahsatu pembicara dalam seminar, Prof Susi Dwi Harijanti SH., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad mengatakan bahwa pemilu serentak ini berdasarkan keputusan MK, "maka kita akan melihat lagi apa betul pertimbangan pertimbangannya seperti itu, jadi seperti yang saya katakan original inten, kemudian yang kedua persoalan regulasi," ujarnya.
"Undang undang pemilihan umum ini kan semacam kodefikasi dari tiga undang undang yang berbeda, UU pileg, UU pilpres, UU penyelenggara pemilu. Dengan demikian, dengan dikatakan sebagai undang undang semacam kodefikasi maka penyiapannya itu tidak mungkin dalam jangka waktu yang sebentar," jelasnya.
"Tadi saya katakan, putusan MK 2013 tetapi undang undang pemilu baru keluar tahun 2017, berarti selang waktunya empat tahun, dan KPU dan Bawaslu serta badan badan lainnya hanya punya waktu yang sangat sempit, pemilu 2019 artinya hanya (persiapan) dua tahun kurang," mirisnya.
"Apakah dengan perubahan yang sangat fundamental, waktu itu adalah yang cukup ?waktu yang wajar ?untuk menyelenggarakan pemilihan umum (serentak) seperti ini?," herannya.
Jadi, lanjut Prof Susi, kita punya persoalan regulasi di tingkat Undang Undang yang dihasilkan oleh DPR. "Jadi menurut saya, DPR seharusnya tidak bermain main dalam membuat undang undang. Dia tidak boleh terlalu banyak mempertimbangkan kepentingan kepentingan partai politiknya, tapi yang harus dia pertimbangkan kedepan bagaimana menghasilkan (UU) pemilihan umum sebagai sarana demokrasi dan terjadinya perubahan atau peralihan kekuasaan secara damai," ungkapnya.
"Jadi harus diletakkan pada hal itu, tidak hanya semata mata pada kepentingan partai politik, kepentingan koalisi dan lain sebagainya. Ini kritik luar biasa bagi DPR, jangan kemudian kekacauan pemilihan umum ini nanti ditimpakan kepada KPU dan Bawaslu, ditimpakan ke dkpp misalnya, tapi DPR seakan akan clean hand," tegasnya.
"Permasalahan permasalahan yang ada ini bisa terjadi karena mepetnya waktu persiapan pelaksanaan," pungkasnya. (Cuy)