Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Pansus VIII DPRD Jabar Temukan Lima Fakta Masalah Penyelenggaraan Perkebunan

Kamis, 18 Juni 2020 | 12:13 WIB Last Updated 2020-06-18T05:27:47Z
Yosa Octora Santono, S.Si,  MM
Ketua Pansus VIII DPRD Jabar
BANDUNG, Faktabandungraya.com,--- Dua pekan perjalanan Panitia Khusus VIII DPRD Jawa Barat yang membahas dan menyusun rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perkebunan, menemukan lima permasalahan perkebunan.

Menurut Ketua Pansus VIII DPRD Jabar Yosa Octora Santono, S.Si, MM, hampir dua pekan Pansus VIII bekerja, dan telah melakukan seragkaian kunjungan kerja untuk menggali informasi dan masukan termasuk juga menyerap aspirasi dari berbagai stakeholder dan pemangku kepentingan perkebunan.

Hasil sementara, Pansus VIII menemukan sejumlah permasalahan dilapangan, yang dikatagorikan menjadi 5 permasalahan. Adapun kelima permasalahan tersebut yaitu masalah Asset; masalah Demplot Pembibitan; masalah Komplik Kepentingan; masalah Ahli Teknolgi dan SDM dan masalah Market Produksi Perkebunan.

Kelima masalah tersebut diatas, kita harapkan dapat teruraikan setelah terbitnya Perda Jabar tentang Penyelenggaran Perkebunan. Jadi Raperda ini setelah disahkan menjadi solusi/ payung hukum di sektor perkebunan.

Demikian dikatakan Yosa Octora Santono saat ditemui, faktabandungraya.com di ruang kerja Fraksi Partai Demokrat DPRD Jabar, Selasa (16/6-2020).

Dikatakan, untuk masalah Asset, pihak Pemprov Jabar melalui Biro Asset Daerah menyampaikan kepada Pansus VIII, bahwa asset lahan perkebunan Jabar luasnya mencapai lebih dari 1.000 Hektar. Namun, yang baru disertifakasi/ Legalitas lengkap hanya seluas 220 Hektar. Selebihnya, legalitasnya masih belum jelas. Namun tercatat sebagai asset daerah, sehingga permasalahan asset ini sering menjadi temuan BPK, ujar Yosa Octora.

Ia mencontoh, Pemprov Jabar punya asset di Sumedang sekitar 100Ha, tapi tidak dikelola , akhirnya digrogoti oleh masyarakat, karena tidak dipagar dan tidak dijaga dengan ketat. Dan beberapa asset Pemprov yang tersebar di seluruh Kabupaten se-Jabar. Untuk itu, kalau Perda Perkebunan ini sebagai landasan, maka sambil jalan kita benahi soal asset.

Kedua Masalah : Demplot Pembibitan Perkebunan, dimana sampai saat ini belum ada hasil kajian dan teknologi, mana bibit ( Kopi, Teh) yang cocok ditanam dan dikembangkan di Kabupaten di Jabar. Jadi Pemprov itu belum punya demplot bibit untuk perkebunan, sehingga tidak punya bibit yang terbaik untuk ditanaman di daerah yang mana.

Kalau bibit baik tanahnya jelek, kalau bibit baik tanah bagus tapi ketinggian yang berbeda tentunya produksinya juga tidak maksimal.

Bahkan saat kita kunjungan ke perkebunan swasta di pengalengan, malah dijadikan tempat belajar bagi intansi pemerintah/ dinas terkait, ada yang dari dari Cirebon, Kuningan, Cianjur, Sukabumi. Kalau saja Demplot pembibitan pemprov Jabar dapat menghasilkan bibit yang cocok sesuai dengan kondisi alam dan ketinggian, tentunya produksi perkebunan pasti terbaik.

Ketiga Masalah :Komplik Kepentingan, antara BUMN (Perkebunan), Dirjen Perkebunan, Provinsi dan Kabupaten. Hal ini, seharusnya tidak perlu terjadi kalau satu sama lain saling mengerti.

Keempat masalah : Ahli Teknologi dan SDM, sekarang para generasi muda Jabar sudah sangat sedikit yang berminat bergerak dibidang perkebunan, sehingga terpaksa di infor tenaga kerja dari luar Jabar.

Selain itu, sekarang mayoritas memetik teh sudah menggunakan teknologi, tetapi kan rasa teh hasil petik pakai tangan dengan teknologi pasti beda rasanya.

Kelima Masalah : Aspek Market, produksi Kopi dan Teh Jabar dibeli oleh orang luar, Contoh : kopi dari Jabar dibeli oleh pengusaha Lampung namanya jadi Kopi Lampung. Ini permasalahannya, karena tidak ada kesepakatan antara stakeholder dangan kebijkan pemerintah provinsi. Jadi, kita harapkan dengan Perda ini, produksi Kopi dan Teh memiliki ciri khas tersendiri. Misalkan Kopi Jabar di lebelin dengan Kopi Prianger atau Malabar.

Dan dijualnya lebih diutamakan untuk Provinsi Jabar, masuk ke Mal, Pusat Perbelanjaan Modern dan tradisional, hotel, restoran, kafe, rumah makan, warung kopi,intansi pemerintah, harapnya.

Namun, para pengusaha diluar Jabar, tidak ingin teman-teman produsen kopi di Jabar berkembang dengan Merk khas Jabar. Nah disinilah, tangan besi provinsi harus masuk untuk keberpihakan kepada para produsen kopi Jabar.

Berbicara Merk Kopi asal Jabar harus diangkat dari histori dan budaya lokal dimana kopi itu dihasilkan. Sehingga, dimanapun orang Jabar berapa, tentunya akan mencari dan menikmati kopi dari Jabar.

Kesimpulannya, kata Yosa, jangan saling ada ego, antara BUMN, Dirjen Perkebunan, Provinsi dan Kabupaten. Selama masih ada menonjolkan masing-masing, perkebunan di Jabar sulit untuk maju. Tandasnya. (husein).

×
Berita Terbaru Update