Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Polemik Sains dan Plasebo Teori Konspirasi

Kamis, 11 Juni 2020 | 07:51 WIB Last Updated 2020-06-11T06:50:48Z

Oleh : Budiana Irmawan

faktabandungraya.com,--- Facebook kembali punya daya pikat. Polemik Goenawan Mohamad (GM) dengan AS Laksana (Sulak) yang memancing para intelektual publik membuat saya harus menganulir tuduhan sosial media sekadar tembok ratapan. Di tengah centang-perenang current issue, debat pemikiran ibarat angin segar di padang tandus. Saya pun terangsang ikut nimbrung.

Silang pendapat bermula dari zoom meeting yang diinisiasi Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dengan tema “Berkhidmat kepada Sains”. GM salah satu narasumber alih-alih mengafirmasi sains justru mengesankan keraguan terhadap sains. Inilah pangkal soal Sulak mengkonfrontir GM.

Intensi PDUI menyelenggarakan acara tidak lepas dari kondisi aktual pandemi Covid-19. PDUI organisasi profesi memiliki otoritas, saya kira jengkel melihat pemerintah kurang serius mengatasinya. Ketika pandemi Covid-19 merebak di Wuhan Cina, negara-negara lain mengambil langkah antisipatif, sementara elite pejabat pemerintahan kita berceloteh menganggap remeh. Dua bulan kemudian setelah korban berjatuhan belum juga menyadarkan bahwa waktunya menengok sains sebagai jalan keluar. Narasi publik malah dijejali teori konspirasi yang berpretensi menyalahkan pihak ketiga atau bersikap fatalistik semua takdir illahi yang harus diterima taken for granted. Sampai akhirnya tagar “Indonesia Terserah” digaungkan menjadi viral.

Kecemasan saintis dan tenaga medis cukup beralasan. John M. Barry dalam buku The Great Influenza 1918, Flu Spanyol menelan korban jiwa hingga 100 juta memberi pelajaran berharga, jika kita abai dan anti-sains. Jadi, meskipun GM menyampaikan ketidaksetujuan terhadap tema acara dengan embel-embel tanpa mengurangi rasa hormat kepada tenaga medis yang berada di garda depan, tetap saja pernyataannya bernada apologetik. 

Saya menduga standpoint GM berangkat dari tiga hal, yakni pertama organisasi profesi kedokteran terutama IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sejak awal tampak bersebrangan dengan pemerintah terkait pandemi Covid-19. Mungkin GM merasa dituntut defensif membela kebijakan pemerintah sebelum diserang peserta zoom meeting yang mayoritas saintis. Mengingat, kita tahu saat Pilpres 2019 GM pendukung militan Jokowi-Ma’ruf. Kedua, dipengaruhi pemikiran posmodernisme. Saya tidak perlu mengulang pemahaman anti-fondasionalisme ala posmodernisme yang sinis terhadap modernitas-sains. Bahkan, GM sendiri mengutip filusuf-filusuf besar untuk mengokohkan argumentasinya. Kendati Sulak menilai GM misleading. Ketiga, sains kerap kali dipertentangkan dengan agama. Argumen Ulil Abhsar Abdalla misalnya, sains terlalu pongah menjadikan alat “bragging” dihadapan ortodoksi agama. Entahlah, terpengaruh Ulil yang sudah beranjak dari pegiat islam liberal. Tapi, GM diusia senja wajar mulai memikirkan “the ultimate concern”.

Di titik ini, fokus perhatian saya pada konteks suasana “Pageblug” pandemi Covid-19 yang belum kita ketahui bersama kapan akan berakhir. PDUI yang memiliki intensi berkhidmat kepada sains, kalau kita negasikan sangat tidak bertanggung jawab. Sebab, bukan hanya menyakiti tenaga medis yang sedang berjuang tanpa lelah di lapangan dan seolah-olah mengabaikan angka mortalitas global mendekati jumlah 400 ribu orang, juga negara yang mengutamakan sains relatif berhasil melawan pandemi Covid-19.

Tidak dipungkiri memang keangkuhan sains seperti Richard Dawkins menyimpulkan “The God Delusion” mengundang reaksi keras kaum agamawan. Begitu pula problem ekologi dampak modernitas yang mengukuhkan pandangan antroposentrisme. Dan klaim Galileo Galilie keagungan akal budi mampu menciptakan model matematika mengungkap misteri semesta. Namun, jangan lupa Galileo melontarkan pernyataan itu ada latar politik kekuasaan yang selalu medekapnya. Ia dengan keyakinan saintifiknya tahun 1633 diganjar hukuman, dan baru 359 tahun kemudian Paus Yohanes Paulus II mengakui kesalahan gereja.

Saya sependapat dengan Fitzerald Kennedi Sitorus bahwa sains, filsafat, dan agama mempunyai ranah dan obyektif formal berbeda. Menjadi problem ketika ditafsirkan oleh para penganut die-hard. Bukankah di Islam ada kelompok Mu’tazilah yang melahirkan saintis masyhur macam Ibnu Sinna, Al-Farabi, atau Al-Kindi. Karena itu, sains tidak melulu milik kaum atheis dan kaum theis selamanya tinggal di rumah ibadah menunggu wahyu langit.

Obyektif sains adalah empiris dengan metode observasi-eksperimentasi dan ukurannya obyektif empirik, dan filsafat obyektifnya logika dengan metode argumentasi-rasionalisasi logis dan ukurannya koheren-logis. Sementara agama, obyektifnya supralogika dengan metode latihan dan ukurannya keyakinan. Pemahaman ini terlihat mempunyai arti ketika ada contoh kasus kongkrit yang menilai sekarang berternak Babi bisnis prospektif, sisi lain ada juga yang mengatakan berternak Babi haram. Di sini keduanya tidak bisa dipertentangkan. Pertama yang menilai berternak babi bisnis prospektif melihat dari sudut sains, dan kedua yang mengatakan berternak Babi haram perspektifnya agama yang parameternya keyakinan mutlak.

Pandemi Covid-19 saya kira tepat ditinjau dari perspektif sains. Halnya Prof. Faried Anfasa Moeloek dalam pidato pembukaan zoom meeting tersebut, bahwa hendaknya kita memaknai Iqra firman Allah SWT untuk terus belajar dari alam semesta agar menjadi dokter-dokter cerdas. Pemahaman GM yang membetot sains pada problem paradoksalnya juga tidak salah, hanya kurang relevan dalam konteks pandemi Covid-19 dan disampaikan di forum PDUI.

Tetapi kita juga sepantasnya berterima kasih kepada GM yang menggiring perdebatan ke ruang publik. Polemik ini jauh lebih bermutu ketimbang celotehan teori konspirasi seorang drummer asal Bali atau podcast tukang sulap. Teori konspirasi mengasyikan sih seperti mendengar dongeng sebelum tidur, tapi sebetulnya cuma plasebo.
×
Berita Terbaru Update