Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Irvan Afriandi |
Irvan menyebutkan langkah yang
paling tepat untuk Kota Bandung saat ini adalah melakukan pembatasan aktivitas
masyarakat secara total untuk sementara waktu. Bahkan jika memungkinkan
pelaksanaannya lebih ketat dari Pemberlakuan Pembatasan Masyarakat (PPKM)
Darurat yang baru saja diambil oleh Presiden Joko Widodo.
“Yaitu menghentikan sementara
aktivitas sosialisasi masyarakat. Maka dengan tidak ada interaksi ini sehingga
virus tidak berpindah," kata Irvan saat memberikan keterangan pers secara
virtual, Kamis, (1/7- 2020).
"Karena virus hanya akan
berada pada orang yang sakit yang dirawat sampai sembuh ataupun kemungkinan
terburuk apabila ditakdirkan meninggal dunia,” imbuhnya.
Irvan menyebut, penghentian
aktivitas dilakukan dalam kurun waktu dua pekan dengan mengadopsi prosedur
penanganan seperti ‘lockdown’. Perhitungannya karena secara rata-rata orang
yang terinfeksi virus sekitar 85 persen akan sembuh tanpa perawatan rumah sakit
maka akan membaik selama 2 minggu.
“Kalau semua kompak dalam 2
minggu habis, ya sudah selesai. Itu yang dilakukan oleh negara-negara lain.
Seperti di New Zeland atau bahkan di Wuhan China sekalipun. Yaitu dengan dites,
di-tracing lalu ditutup dan setelah itu dijaga pintunya,” jelasnya.
Khusus di Kota Bandung, Irvan
mengakui, situasinya sudah kritis. Sehingga memerlukan intervensi penanganan
yang lebih agresif. Bahkan tidak menutup kemungkinan lebih dari aturan
pemerintah pusat.
“Saya menilai hal yang digariskan
pemerintah pusat itu kebijakan minimum. Saya kira setidak-tidaknya mengikuti
ketentuan minimal yang diatur PPKM Darurat. Kalau dari aturan itu dipandang
tidak memadai untuk situasi di Kota Bandung, Pemkot Bandung bisa mengambil
lebih dari itu. Artinya mengambil lebih ketat,” bebernya.
Apabila langkah ini diambil untuk
penanganan di Kota Bandung, Irvan mengingatkan, semua pihak harus memahami
bahwa untuk mengukur tingkat keberhasilannya baru bisa terekam dalam kurun
waktu dua bulan berikutnya.
Dengan catatan selama dua pekan
PPKM Darurat semua aktivitas seluruh penghuni di Kota Bandung dihentikan.
“Karena pola yang sekarang jauh
lebih dahsyat ketika Januari lalu. Jadi kalau dua minggu 'off', manfaat atau
efeknya baru akan terlihat sebulan yang akan datang," jelasnya.
"Kalau itu bisa dikelola,
sebulan berikutnya maka akan makin turun karena interaksi tidak terjadi,”
terang Irvan.
Kunci kesuksesan untuk PPKM
Darurat tersebut juga tetap bergantung pada implementasi di lapangan.
“Kita sering bermasalah ketika
kebijakannya bagus, tapi implementasinya di lapangan yang repot. Kemudian ini
harus dilakukan secara masif dan merata," tuturnya.
"Kalau di Kota Bandung
dilaksanakan, itu harus diikuti oleh Kabupaten Bandung atau daerah lainnya yang
berbatasan dengan Kota Bandung. Agar tidak ada aktivitas sama sekali. Jadi
memang sulit. Idealnya itu satu pulau,” katanya
Lebih lanjut Wakil Dekan Fakultas
Kedokteran Unpad ini mengimbau masyarakat dan pemerintah jangan sampai
gelagapan dengan kemunculan varian delta ini.
Sebab, kunci utama dalam
menghadapi setiap pandemi virus yakni dengan disiplin menjalankan protokol
kesehatan.
“Dari sisi penanganan kesehatan
masyarakat, ternyata varian apapun itu cara penanganannya sama. Yaitu dengan
menerapkan 5M dan 3T,” ucap Irvan.
Irvan memaparkan, dari kasus yang
sudah ada sebelumnya, ketika terjadi pandemi maka terdapat dua kemungkinan.
Pertama, virusnya ikut mati terbawa bersama orang-orang yang terkonfirmasi
terpapar. Praktis dengan risiko banyaknya korban berjatuhan lantaran virus
bermutasi semakin kuat.
Kemungkinan kedua, lanjut Irvan,
ketika virus mengalami mutasi tetapi menghasilkan sifat baru yang tidak lebih
ganas dan mudah menyebar. Sehingga virus akan menghilang dengan sendirinya
lantaran mutasi baru justru lebih lemah.
Menurut Irvan, mutasi virus
tersebut berpengaruh terhadap upaya pemberian vaksin. Karena vaksin
dikembangkan berdasarkan suatu jenis virus yang ditemukan di tempat tertentu.
Apabila mutasi virus mirip dengan
virus awal yang dijadikan dasar vaksin bisa jadi masih efektif.
“Kalau tidak, ada risiko untuk
kurang efektif. Tetapi selain varian berbeda, ada aspek lain dari faktor orangnya
yang memiliki respon berbeda terhadap vaksin. Karena tidak semua populasi sama.
Setiap ras memiliki pola respon yang berbeda,” terangnya.(asp/red).