Klik
GEDUNGSATE, Faktabandungraya.com,--- Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Barat, Jafar Ismail mengatakan, ada sekitar 115 ribu-an orang nelayan yang ada di Jawa Barat. Namun, sampai baru sekitar 57 ribuan nelayan yang sudah dibantu oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jabar melalui DKP Jabar mendapat perlindungan asuransi.
Menurut Kepala DKP Jabar, pemberian asuransi bagi nelayan tersebut sudah diatur dalam Peraturan daerah (Perda) Jabar tentang Perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Hal ini disampaikan dalam acara Jabar Punya Informasi (Japri) ke 41 dengan mengangkat tema : “Capaian dan arah pengembangan perikanan dan laut Jabar, (program nelayan juara , laut juara dan digitalisasi perikanan) yang dilaksanakan Biro Humas dan Protokol Setda Prov Jabar bertempat di halaman Museum Gedung sate, Kota Bandung, Kamis (12/9-2019).
Dikatakan, 57 ribu nelayan mendapatkan asuransi dari pemerintah, namun, ada juga yang melakukan asuransi secara mandiri yaitu sebanyak 2489 orang. Dengan premi 160 ribu jika tertanggung meninggal dunia di laut asuransinya hingga Rp. 200 juta, ujarnya.
Adapun terkait jargon “Nelayan Juara”, Jafar mengatakan, Nelayan juara adalah bagaimana kita menciptakan nelayan nelayan supaya jadi sumber daya manusia yang unggul di sektor perikanan, memiliki sertifikasi, menerapkan teknologi atau digitalisasi nelayan dengan menggunakan VMA(vessel media aid) , sehingga bisa mengetahui keberadaan ikan, menangkap ikan lebih efisien, lebih banyak hasilnya.
Dalam penerapan Teknologi VMA, DKP Jabar sudah dilatih sebanyak 156 nelayan dengan sertifikat BSF dan ahli nautika kapal. Jadi mereka bisa bertugas sebagai nelayan, ujarnya.
Untuk gudang ikan juara, Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar telah melaksanakan peningkatan pelayanan pengujian mutu perikanan yaitu dengan, mempersingkat waktu pengujian yang tadinya 11 hari menjadi 4 hari, kemudian garapan layanan sistem call centre, sms dan wa.
“Kita juga menebar ikan di tempat umum, yang sampai bulan Agustus 2019 ini sudah 14.885 ekor ikan ditebar, diseluruh danau di Jawa Barat” tuturnya.
Lebih lanjut, Jafar mengatakan, Jabar memiliki luas laut 18 ribu km2 dan panjang pantai 842 km, sedangkan petugas PPS Jabar hanya 4 orang, provinsi 1 orang dan kabupaten 3 orang, karena itu kita membina kelompok masyarakat, untuk menyuluh kepada sesama nelayan, agar tidak menangkap ikan dengan cara di bom, dan alat alat yang dilarang karena ini suatu saat akan merugikan mereka sendiri, pintanya.
Lima Masalah Perikanan
Sementara itu, Pengamat Perikanan dan Kelautan Yudi mengatakan, perikanan dan kelautan kalau dikelola dengan baik, bisa menjadi contoh bagaimana ekonomi kerakyatan berkembang, karena pengelolaannya bisa dilakukan oleh masyarakat secara massal.
Ada lima (5) maslah di sektor perikanan dan kelautan, yaitu : Masalah pertama adalah tata kelola akibatnya nelayan dan pebudidaya banyak terjebak dengan tengkulak, masih terjebak dengan sistem ijon dan lain sebagainya. “Begitu panen, harga dijatohkan,” katanya.
Masalah yang kedua, tata niaga contohnya kalau ikan lagi banyak harganya turun, kalau ikan lagi jarang harganya mahal. Garam sedikit harganya tinggi bisa sampai Rp1.800 per kg, lagi banyak harganya rendah, dibawah Rp500 per kg.
“Padahal kalau dijual dengan harga Rp500 per kg saja, petambak tidak untuk tidak rugi. Jadi minimal harus di atas Rp500,” ungkap dia.
Masalah ketiga regulasi, ini yang sekarang banyak dikritik oleh stake holder perikanan, terkait Permen KP No.56 tahun 2016 yang melarang penangkapan lobster, baik untuk dibudidaya maupun untuk diekspor.
“Permen itu kalau boleh ada sedikit direvisi, boleh ditangkap di bawah 200 masih benih lobster atau baby lobster tetapi bukan untuk diperjual belikan tapi untuk dibudidayakan sampai ukurannya di atas 200 gram, baru kemudian boleh dijual,” katanya.
Akibat dari Permen-KP tersebut, berdampak nelayan melakukan penangkapan secara diam-diam dan mungkin juga akan dijual ke pasar gelap lobster.
Lobster terbesar di dunia itu adalah vietnam, padahal vietnam membeli lobster dari pasar gelap lobster atau vietnam menangkapnya secara langsung dari pantai selatan Indonesia. Menurut Yudi, lobster dibesarkan di vietnam kemudian diekspor menjadi label lobster vietnam, padahal itu lobster dari jawa barat, ujarnya.
Keempat masalah lingkungan, ini juga masih menjadi problem, pelabuhan masih kotor, daerah pesisir masih kotor, banyak mangrove yang ditebang dan terumbu karangnya dirusak.
Kelima masalah sosial, nelayan masih perlu pendampingan sehingga terhindar dari tengkulak, ijon dan lain sebagainya. Dari sisi moral, masih ada nelayan yang begitu dapat uang banyak, langsung foya-foya, nikah lagi dan sebagainya.
“Saat musim panen istrinya kalau jalan gonjreng-gonjreng tangannya penuh emas, tetapi begitu musim paceklik dijual satu-satu, ini juga perlu pendampingan,” katanya.
Kalau kelima masalah ini bisa diperbaiki, tata kelola, tata niaga, regulasi, lingkungan dan sosial, nelayan dan pebudidaya bisa kaya raya.
“Sektor perikanan dan kelautan Indonesia bisa menjadi, contoh pengelolaan yang ekonomi rakyat,” pungkasnya (husein).
Menurut Kepala DKP Jabar, pemberian asuransi bagi nelayan tersebut sudah diatur dalam Peraturan daerah (Perda) Jabar tentang Perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Hal ini disampaikan dalam acara Jabar Punya Informasi (Japri) ke 41 dengan mengangkat tema : “Capaian dan arah pengembangan perikanan dan laut Jabar, (program nelayan juara , laut juara dan digitalisasi perikanan) yang dilaksanakan Biro Humas dan Protokol Setda Prov Jabar bertempat di halaman Museum Gedung sate, Kota Bandung, Kamis (12/9-2019).
Dikatakan, 57 ribu nelayan mendapatkan asuransi dari pemerintah, namun, ada juga yang melakukan asuransi secara mandiri yaitu sebanyak 2489 orang. Dengan premi 160 ribu jika tertanggung meninggal dunia di laut asuransinya hingga Rp. 200 juta, ujarnya.
Adapun terkait jargon “Nelayan Juara”, Jafar mengatakan, Nelayan juara adalah bagaimana kita menciptakan nelayan nelayan supaya jadi sumber daya manusia yang unggul di sektor perikanan, memiliki sertifikasi, menerapkan teknologi atau digitalisasi nelayan dengan menggunakan VMA(vessel media aid) , sehingga bisa mengetahui keberadaan ikan, menangkap ikan lebih efisien, lebih banyak hasilnya.
Dalam penerapan Teknologi VMA, DKP Jabar sudah dilatih sebanyak 156 nelayan dengan sertifikat BSF dan ahli nautika kapal. Jadi mereka bisa bertugas sebagai nelayan, ujarnya.
Untuk gudang ikan juara, Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar telah melaksanakan peningkatan pelayanan pengujian mutu perikanan yaitu dengan, mempersingkat waktu pengujian yang tadinya 11 hari menjadi 4 hari, kemudian garapan layanan sistem call centre, sms dan wa.
“Kita juga menebar ikan di tempat umum, yang sampai bulan Agustus 2019 ini sudah 14.885 ekor ikan ditebar, diseluruh danau di Jawa Barat” tuturnya.
Lebih lanjut, Jafar mengatakan, Jabar memiliki luas laut 18 ribu km2 dan panjang pantai 842 km, sedangkan petugas PPS Jabar hanya 4 orang, provinsi 1 orang dan kabupaten 3 orang, karena itu kita membina kelompok masyarakat, untuk menyuluh kepada sesama nelayan, agar tidak menangkap ikan dengan cara di bom, dan alat alat yang dilarang karena ini suatu saat akan merugikan mereka sendiri, pintanya.
Lima Masalah Perikanan
Ada lima (5) maslah di sektor perikanan dan kelautan, yaitu : Masalah pertama adalah tata kelola akibatnya nelayan dan pebudidaya banyak terjebak dengan tengkulak, masih terjebak dengan sistem ijon dan lain sebagainya. “Begitu panen, harga dijatohkan,” katanya.
Masalah yang kedua, tata niaga contohnya kalau ikan lagi banyak harganya turun, kalau ikan lagi jarang harganya mahal. Garam sedikit harganya tinggi bisa sampai Rp1.800 per kg, lagi banyak harganya rendah, dibawah Rp500 per kg.
“Padahal kalau dijual dengan harga Rp500 per kg saja, petambak tidak untuk tidak rugi. Jadi minimal harus di atas Rp500,” ungkap dia.
Masalah ketiga regulasi, ini yang sekarang banyak dikritik oleh stake holder perikanan, terkait Permen KP No.56 tahun 2016 yang melarang penangkapan lobster, baik untuk dibudidaya maupun untuk diekspor.
“Permen itu kalau boleh ada sedikit direvisi, boleh ditangkap di bawah 200 masih benih lobster atau baby lobster tetapi bukan untuk diperjual belikan tapi untuk dibudidayakan sampai ukurannya di atas 200 gram, baru kemudian boleh dijual,” katanya.
Akibat dari Permen-KP tersebut, berdampak nelayan melakukan penangkapan secara diam-diam dan mungkin juga akan dijual ke pasar gelap lobster.
Lobster terbesar di dunia itu adalah vietnam, padahal vietnam membeli lobster dari pasar gelap lobster atau vietnam menangkapnya secara langsung dari pantai selatan Indonesia. Menurut Yudi, lobster dibesarkan di vietnam kemudian diekspor menjadi label lobster vietnam, padahal itu lobster dari jawa barat, ujarnya.
Keempat masalah lingkungan, ini juga masih menjadi problem, pelabuhan masih kotor, daerah pesisir masih kotor, banyak mangrove yang ditebang dan terumbu karangnya dirusak.
Kelima masalah sosial, nelayan masih perlu pendampingan sehingga terhindar dari tengkulak, ijon dan lain sebagainya. Dari sisi moral, masih ada nelayan yang begitu dapat uang banyak, langsung foya-foya, nikah lagi dan sebagainya.
“Saat musim panen istrinya kalau jalan gonjreng-gonjreng tangannya penuh emas, tetapi begitu musim paceklik dijual satu-satu, ini juga perlu pendampingan,” katanya.
Kalau kelima masalah ini bisa diperbaiki, tata kelola, tata niaga, regulasi, lingkungan dan sosial, nelayan dan pebudidaya bisa kaya raya.
“Sektor perikanan dan kelautan Indonesia bisa menjadi, contoh pengelolaan yang ekonomi rakyat,” pungkasnya (husein).