Klik
BANDUNG - Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat mendorong semua stakeholders duduk satu meja lagi untuk memulihkan kondisi Kawasan Bandung Utara (KBU) yang saat ini sedang kritis. Forum bersama ini tidak dilakukan sekadar seremonial dan formalitas, tapi dengan kualitas dan intensitas tinggi.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat, Epi Kustiawan mengatakan, untuk memulihkan lahan kritis di KBU dan lahan kritis di sepanjang hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dibutuhkan sekitar 24 juta bibit pohon.
DAS Citarum dengan luas 600.000 hektare dari Cisanti sampai Muara Gembong di antaranya terdapat 199.000 hektare lahan kritis yang terbagi dalam beberapa hulu DAS Citarum. Selain itu terdapat pula 77.000 hektare yang terdiri dari 15.000 hektare yang merupakan lahan di dalam kawasan dan 61.000 hektare lahan di luar kawasan seperti lahan milik masyarakat
Demikian diugkapkan Kadis Kehutanan Jabar Epi Kustiawan dalam Jabar Punya Informasi (Japri) dengan tema “Pemulihan Fungsi Lahan Kawasan Bandung Utara”, di Lobi Museum Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (10/12/19).
Pada acara Japri tersebut, selain Kadis Kehutanan Jabar Epi Kustiawan, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Hendy Jatnika, serta Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Tirtoyuliono.
Epi Kustiawan mengatakan, lahan kritis hutan di KBU terdapat 3.500 hektare, jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan lahan kritis pertanian. “Tapi yang muncul di media adalah hutan gundul,” tukas Epi.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam memulihkan KBU adalah jumlah penyuluh kehutanan yang hanya 250 orang berstatus ASN. Sementara relawan penyuluh tercatat 1.500. “Idealnya penyuluh satu orang satu desa, di Jabar ada 5.312 desa. Jangan dulu per desa, satu orang per kecamatan saja dulu, itu berarti butuh 627 penyuluh,” katanya.
Lebih lanjut Epi mengatakan, kondisi KBU memasuki fase kritis sebagai dampak pembangunan yang bergeser ke wilayah atas seiring pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Selain untuk perumahan, kawasan komersial, serta lahan pertanian, KBU pun dipergunakan untuk aktivitas pertambangan.
Status lahan pun menjadi kendala dalam pemulihan. Pemdaprov Jabar relatif mudah memulihkan lahan atas milik warga setempat. Namun berbeda ketika harus warga yang bukan asli setempat tapi memiliki banyak lahan di KBU.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Hendy Jatnika, mengatakan di sektor pertanian, saat ini ada 14.600 hektare lahan kritis di KBU. Sementara di sektor kehutanan 3.500 hektare lahan kritis. Sementara tidak terhitung lahan untuk permukiman dan kawasan komersial.
“Dulu tahun 80-an tidak ditemukan ada pertanian di lereng gunung. Tapi sekarang dengan penduduk yang bertambah banyak, pertani terdesak ke lereng gunung. Ini karena desakan kita juga. Kita makan sambal, cabainya berasal dari hasil pertanian tidak ramah lingkungan,” ujar Hendy Jatnika.
Menurut Hendy, tantangan terberat saat ini adalah mengubah mindset petani yang tua-tua agar menghentikan pola tanam yang salah. Petani di KBU tidak memiliki kearifan lokal yang bersifat memuliakan alam, tidak seperti di Panyaweuyan, Kabupaten Majalengka, di mana lahan sayur di sana menggunakan teknik terasering bangku.
“Kalau di KBU itu tidak ‘ngais pasir’ dan ‘gelar kampak’. Ngais pasir itu sejajar kontur tidak boleh motong kontur tanah, gelar kampak permukaannya menjorok ke dalam, jadi air tidak tumpah ke bawah,” kata Hendy.
Para petani KBU, lanjut Hendy, tidak menyukai pola tanam terasering karena tidak memiliki biaya untuk membuatnya. Biaya untuk membuat terasering bangku di atas lahan 1 hektare dengan tingkat kemiringan 30 derajat dibutuhkan sekitar Rp40-50 juta.
“Petani tidak mampu, makanya mereka meminta bantuan ke Pemdaprov Jabar. Tapi kita tidak dapat memberikan begtu saja. Yang dapat kita berikan adalah model terasering yang seharusnya dilakukan, ini lho seperti ini. Tahun depan insyallah ada 20 hektare model terasering di Cimenyan, sudah ada warga yang mau,” jelas Hendy.
Lebih lanjut Hendy mengatakan, Dinas Pertanian telah melakukan berbagai upaya, di antaranya dengan mendidik 100 petani millenial agar memiliki pengetahuan bertani yang lebih ramah lingkungan. “Kebanyakan anak-anak petani atau petani yang baru mulai kami didik. Target sendiri 1.000 petani millenial,“ ujarnya.
Ditempat yang sama Kepala Dinas ESDM Bambang Tirtoyuliono mengatakan, saat ini 80 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan 176 pengambil air tanah.
“Dalam pengurusan izinnya, kami persyaratkan berbagai hal. Misalnya untuk pengambil air, kami wajibkan membuat sumur imbuhan. Izin harus diperpanjang per tahun. Untuk pemegang IUP, harus menanam bibit pohon,” kata Bambang.
Saat ini, Dinas ESDM sedang berfokus mengubah imej pertambangan sebagai ‘perusak’ alam tapi juga berpihak pada lingkungan. (sein).
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat, Epi Kustiawan mengatakan, untuk memulihkan lahan kritis di KBU dan lahan kritis di sepanjang hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dibutuhkan sekitar 24 juta bibit pohon.
DAS Citarum dengan luas 600.000 hektare dari Cisanti sampai Muara Gembong di antaranya terdapat 199.000 hektare lahan kritis yang terbagi dalam beberapa hulu DAS Citarum. Selain itu terdapat pula 77.000 hektare yang terdiri dari 15.000 hektare yang merupakan lahan di dalam kawasan dan 61.000 hektare lahan di luar kawasan seperti lahan milik masyarakat
Demikian diugkapkan Kadis Kehutanan Jabar Epi Kustiawan dalam Jabar Punya Informasi (Japri) dengan tema “Pemulihan Fungsi Lahan Kawasan Bandung Utara”, di Lobi Museum Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (10/12/19).
Pada acara Japri tersebut, selain Kadis Kehutanan Jabar Epi Kustiawan, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Hendy Jatnika, serta Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Tirtoyuliono.
Epi Kustiawan mengatakan, lahan kritis hutan di KBU terdapat 3.500 hektare, jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan lahan kritis pertanian. “Tapi yang muncul di media adalah hutan gundul,” tukas Epi.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam memulihkan KBU adalah jumlah penyuluh kehutanan yang hanya 250 orang berstatus ASN. Sementara relawan penyuluh tercatat 1.500. “Idealnya penyuluh satu orang satu desa, di Jabar ada 5.312 desa. Jangan dulu per desa, satu orang per kecamatan saja dulu, itu berarti butuh 627 penyuluh,” katanya.
Lebih lanjut Epi mengatakan, kondisi KBU memasuki fase kritis sebagai dampak pembangunan yang bergeser ke wilayah atas seiring pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Selain untuk perumahan, kawasan komersial, serta lahan pertanian, KBU pun dipergunakan untuk aktivitas pertambangan.
Status lahan pun menjadi kendala dalam pemulihan. Pemdaprov Jabar relatif mudah memulihkan lahan atas milik warga setempat. Namun berbeda ketika harus warga yang bukan asli setempat tapi memiliki banyak lahan di KBU.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Hendy Jatnika, mengatakan di sektor pertanian, saat ini ada 14.600 hektare lahan kritis di KBU. Sementara di sektor kehutanan 3.500 hektare lahan kritis. Sementara tidak terhitung lahan untuk permukiman dan kawasan komersial.
“Dulu tahun 80-an tidak ditemukan ada pertanian di lereng gunung. Tapi sekarang dengan penduduk yang bertambah banyak, pertani terdesak ke lereng gunung. Ini karena desakan kita juga. Kita makan sambal, cabainya berasal dari hasil pertanian tidak ramah lingkungan,” ujar Hendy Jatnika.
Menurut Hendy, tantangan terberat saat ini adalah mengubah mindset petani yang tua-tua agar menghentikan pola tanam yang salah. Petani di KBU tidak memiliki kearifan lokal yang bersifat memuliakan alam, tidak seperti di Panyaweuyan, Kabupaten Majalengka, di mana lahan sayur di sana menggunakan teknik terasering bangku.
“Kalau di KBU itu tidak ‘ngais pasir’ dan ‘gelar kampak’. Ngais pasir itu sejajar kontur tidak boleh motong kontur tanah, gelar kampak permukaannya menjorok ke dalam, jadi air tidak tumpah ke bawah,” kata Hendy.
Para petani KBU, lanjut Hendy, tidak menyukai pola tanam terasering karena tidak memiliki biaya untuk membuatnya. Biaya untuk membuat terasering bangku di atas lahan 1 hektare dengan tingkat kemiringan 30 derajat dibutuhkan sekitar Rp40-50 juta.
“Petani tidak mampu, makanya mereka meminta bantuan ke Pemdaprov Jabar. Tapi kita tidak dapat memberikan begtu saja. Yang dapat kita berikan adalah model terasering yang seharusnya dilakukan, ini lho seperti ini. Tahun depan insyallah ada 20 hektare model terasering di Cimenyan, sudah ada warga yang mau,” jelas Hendy.
Lebih lanjut Hendy mengatakan, Dinas Pertanian telah melakukan berbagai upaya, di antaranya dengan mendidik 100 petani millenial agar memiliki pengetahuan bertani yang lebih ramah lingkungan. “Kebanyakan anak-anak petani atau petani yang baru mulai kami didik. Target sendiri 1.000 petani millenial,“ ujarnya.
Ditempat yang sama Kepala Dinas ESDM Bambang Tirtoyuliono mengatakan, saat ini 80 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan 176 pengambil air tanah.
“Dalam pengurusan izinnya, kami persyaratkan berbagai hal. Misalnya untuk pengambil air, kami wajibkan membuat sumur imbuhan. Izin harus diperpanjang per tahun. Untuk pemegang IUP, harus menanam bibit pohon,” kata Bambang.
Saat ini, Dinas ESDM sedang berfokus mengubah imej pertambangan sebagai ‘perusak’ alam tapi juga berpihak pada lingkungan. (sein).