Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Komisi V DPRD Jabar Minta Sekolah Jangan Manahan Hak Siswa Untuk Mengikuti PTS.

Selasa, 15 September 2020 | 11:03 WIB Last Updated 2020-09-17T15:34:19Z
Klik
Abdul HAdi Wijaya, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar.

BANDUNG, Faktabandungraya.com,--- Sejak Senin hingga Sabtu (14-19 September 2020), seluruh sekolah mulai dari SD, SLTP dan SLTA tengah menjalani/ mengikuti Penilaian Tengah Semester (PTS). Namun, ada sebagian siswa terutama SMA/SMK terpaksa tidak dapat mengikuti PTS karena belum membayar SPP dan DSP.

Menanggapi adanya anak yang terpaksa tidak dapat ikut PTS karena belum bayar/ melunasi sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan Dana Sumbangan Pendidikan (DSP). Menurut Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar, H. Abdul Hadi Wijaya, tidak boleh sekolah menahan-nahan hak siswa untuk mengikuti PTS.

“Kalau ada pihak sekolah menahan anak, tidak dapat mengikuti PTS lantaran orang tuanya belum melunasi sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), bertentangan dengan kebijakan Gubernur Jabar, yang menginginkan agar seluruh anak jangan sampai putus sekolah”.

Demikian dikatakan, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar kepada wartawan saat dihubungi melalui telepon selularnya, Senin (14/9/2020).

Pelarangan pihak sekolah terhadap anak didiknya yang belum bayar SPP dan DSP sangat bertentangan dengan strategi Gubernur dibidang pendidikan, yaitu pendidikan berkualitas merata dan terjangkau.

Abdul Hadi juga mengatakan, bahwa Kadisdik Jabar di era Dewi Sartika secara tegas, dalam surat edarannya, mengatakan bahwa sekolah tidak boleh menahan hak anak untuk ikut ujian hanya karena alasan, orangtua belum melunasi SPP dan DSP.

Kalau mereka (pihak sekolah) beralasan yang dilarang itukan, terkait penilaian tengah semester, alasan itu tidak mendasar.

"Sebab sesungguhnya imbauan ibu kadisdik tersebut merata sampai ke PTS, bukan hanya ujian akhir saja," tambahnya.

Kadisdik Jabar berani melarang sekolah swasta menahan-nahan hak pendidikan anak. Karena sesungguhnya ada bantuan dari provinsi untuk sekolah, bantuan untuk siswa yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu (KETM).

Untuk tahun ini, bantuan SPP bagi siswa KETM nilainya Rp 550.000 per siswa per tahun. Bantuan tersebut bisa dicairkan setiap tahun. Namanya bantuan pendidikan menengah universal (BPMU).

Soal siswa yang tidak diterima disekolah negeri karena kuotanya sudah habis tetapi dia punya KETM ada bantuan Rp 2 juta per siswa

"Memang satu kali dapatnya," katanya. Tinggal sekolah mendaftarkannya, depotik dan lain sebagainya.

Bila tetap belum menerima dananya, tetapi data-data KETM siswa tersebut bisa dibuktikan Komisi V DPRD Jabar siap membantu.

"Secara anggaran, kami dari pemerintah dan dari DPRD Jabar, khususnya komisi V, mencoba untuk menaikkan terus anggaran-anggaran pendidikan untuk KETM," tegasnya.

Selain itu, sekolah swasta juga punya kewajiban menyediakan 20 persen bangku di sekolahnya untuk siswa miskin, agar angka putus sekolah di Jabar bisa turun, dan angka lama sekolah bisa terus meningkat.

Agar pendidikan yang berkualitas merata dan terjangkau. Bisa terlaksana dengan baik, butuh kerjasama dengan sekolah-sekolah swasta.

Supqaya tidak ada lagi kasus, anak yang sudah sekolah, tiba-tiba putus sekolah, hanya karena orangtuanya tidak mampu, orangtuanya tidak bisa mengikuti sistem pembayaran yang ditetapkan sekolah.

"Itu sama saja tidak selaras dengan ketentuan gubernur, pendidikan berkualitas merata dan terjangkau," katanya.

Jika ada diantara pihak sekolah yang belum paham dengan kebijakan gubernur silahkan datang ke dewan.

"Dewan itukan wakil dari semua masyarakat ya. Mangga di komunikasikan ke dewan, sehingga kita tahu. Bisa bantu. Dalam kebijakan anggaran. Misalnya, sekolah mengajukan daftar siswa miskin, daftar penunggak. Asal ada datanya, asal bisa dipertanggungjawabkan. Kita bisa advokasi," imbaunya.

Semua itu dilakukan, agar tidak ada lagi sekolah yang menghalang-halangi hak anak untuk belajar, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri, ketentuannya sendiri.

"Itu bukan solusi, kurang efektif," katanya.

Kalau pelarangan itu tetap dilakukan, bagaimana nanti bila orangtua anak tersebut mengadukan nasibnya ke komnas anak, komnas HAM.

"Kalau pengaduan sudah dilayangkan, sekolah anak pusing, semua akan pusing. Lebih bagus kita cari solusinya. Jangan menahan-nahan, itu solusi yang nggak menyelesaiklan masalah," pungkasnya. (*/red).
×
Berita Terbaru Update