Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

OPINI : Inspirasi Keteguhan Generasi Gaza vs Fenomena Duck Syndrome pada Kaum Muda

Minggu, 07 September 2025 | 21:05 WIB Last Updated 2025-09-07T14:05:21Z
Klik
ilustarsi


Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md.

Pendidik Generasi

Perang yang timpang masih berlangsung di Gaza. Penjajah berupaya mengosongkan wilayah itu dengan menghancurkan fasilitas publik, pendidikan, kesehatan, hingga melanggengkan pelaparan massal. Situasi sudah buruk, bahkan semakin memburuk.

Namun, anak-anak Gaza tetap kokoh. Mereka terus belajar, meraih prestasi, dan bercita-cita besar meski berada di tengah deru perang.

Sementara itu, banyak mahasiswa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, justru menghadapi fenomena duck syndrome. Istilah ini menggambarkan kondisi mahasiswa yang tampak tenang di permukaan, padahal sebenarnya terbebani tekanan besar. Fenomena ini pertama kali dilekatkan pada mahasiswa Universitas Stanford, lalu kini meluas ke banyak kampus di dunia.

Asal-usul dan Penyebab Duck Syndrome

Nama duck syndrome diambil dari perilaku bebek yang terlihat tenang di atas permukaan air, padahal kakinya sibuk mengayuh di bawah. Kondisi ini serupa dengan mahasiswa yang terlihat baik-baik saja, padahal sedang berjuang keras di balik layar hidupnya.

Menurut Anisa Yuliandri, psikolog dari FEB UGM, tekanan itu muncul karena mahasiswa berusaha memenuhi standar tinggi: mempertahankan IPK, aktif berorganisasi, ikut magang, lomba, sekaligus menjaga eksistensi di media sosial. Ketakutan dianggap malas atau tidak kompetitif membuat mereka merasa harus selalu aktif.

Tekanan eksternal, budaya untuk selalu terlihat baik, hingga perfeksionisme memperburuk keadaan. Banyak mahasiswa akhirnya menekan emosi, menyembunyikan kelemahan, dan menghindari menunjukkan kelelahan. Media sosial turut memperparah kondisi ini.

Padahal, duck syndrome berbahaya karena tak terlihat. Dari luar tampak normal, tapi bisa berkembang menjadi gangguan serius seperti insomnia, kecemasan kronis, kelelahan, bahkan depresi.

Generasi Penjaga Al Aqsa

Pembentukan generasi penjaga Masjid Al Aqsa tetap berjalan di Gaza. Anak-anak mendapat pendidikan Qur’ani dari orang tua, remaja, bahkan para lansia yang masih mampu mengajar. Meski orang tua banyak yang gugur syahid, anak-anak tetap berjuang menyelesaikan pendidikan.

Bagi mereka, perang bukan alasan untuk berhenti belajar. Justru dari situ tumbuh generasi tangguh berkepribadian Islam.

Kondisi Pemuda di Tanah Air

Sementara di Indonesia, generasi muda kerap terjebak dalam tekanan sistem kapitalisme. Tuntutan hidup perfeksionis sekuler kapitalisme membuat mahasiswa harus memenuhi standar yang tak realistis sehingga mereka menjadi stres. Lemahnya iman, ketidakpahaman terhadap hakikat hidup, dan rendahnya kesadaran politik membuat mereka semakin rapuh menghadapi krisis multidimensi.

Padahal, problem ini tidak bisa diselesaikan secara individual.

Jalan Keluar dari Krisis

Butuh penyatuan kekuatan umat Islam demi mengakhiri perang di Gaza dan membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis. Anak-anak bisa kembali merasakan hidup yang indah di bawah naungan syariat Islam.

Ketangguhan anak-anak Gaza seharusnya menjadi inspirasi bagi generasi yang terjebak duck syndrome. Mereka menunjukkan bahwa Islam mampu membentuk generasi kuat, berdaya juang, dan memiliki tujuan hidup yang jelas.

Karenanya, penting untuk meneguhkan kembali identitas muslim, membebaskan diri dari jebakan standar kapitalisme, serta menyadari bahwa perubahan sistem menuju Islam adalah solusi nyata atas krisis multidimensi yang melanda, termasuk dalam perjuangan membebaskan Palestina.

Wallahualam bissawab.

Penulis : Yanyan Supiyanti, A.Md. (Guru/ Pemerhati Palestina)


×
Berita Terbaru Update