![]() |
ilustarsi |
Pendidik Generasi
Perang
yang timpang masih berlangsung di Gaza. Penjajah berupaya mengosongkan wilayah
itu dengan menghancurkan fasilitas publik, pendidikan, kesehatan, hingga
melanggengkan pelaparan massal. Situasi sudah buruk, bahkan semakin memburuk.
Namun,
anak-anak Gaza tetap kokoh. Mereka terus belajar, meraih prestasi, dan
bercita-cita besar meski berada di tengah deru perang.
Sementara
itu, banyak mahasiswa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, justru
menghadapi fenomena duck syndrome. Istilah ini menggambarkan kondisi mahasiswa
yang tampak tenang di permukaan, padahal sebenarnya terbebani tekanan besar.
Fenomena ini pertama kali dilekatkan pada mahasiswa Universitas Stanford, lalu
kini meluas ke banyak kampus di dunia.
Asal-usul dan Penyebab Duck
Syndrome
Nama duck
syndrome diambil dari perilaku bebek yang terlihat tenang di atas permukaan
air, padahal kakinya sibuk mengayuh di bawah. Kondisi ini serupa dengan
mahasiswa yang terlihat baik-baik saja, padahal sedang berjuang keras di balik
layar hidupnya.
Menurut
Anisa Yuliandri, psikolog dari FEB UGM, tekanan itu muncul karena mahasiswa
berusaha memenuhi standar tinggi: mempertahankan IPK, aktif berorganisasi, ikut
magang, lomba, sekaligus menjaga eksistensi di media sosial. Ketakutan dianggap
malas atau tidak kompetitif membuat mereka merasa harus selalu aktif.
Tekanan
eksternal, budaya untuk selalu terlihat baik, hingga perfeksionisme memperburuk
keadaan. Banyak mahasiswa akhirnya menekan emosi, menyembunyikan kelemahan, dan
menghindari menunjukkan kelelahan. Media sosial turut memperparah kondisi ini.
Padahal,
duck syndrome berbahaya karena tak terlihat. Dari luar tampak normal, tapi bisa
berkembang menjadi gangguan serius seperti insomnia, kecemasan kronis,
kelelahan, bahkan depresi.
Generasi Penjaga Al Aqsa
Pembentukan
generasi penjaga Masjid Al Aqsa tetap berjalan di Gaza. Anak-anak mendapat
pendidikan Qur’ani dari orang tua, remaja, bahkan para lansia yang masih mampu
mengajar. Meski orang tua banyak yang gugur syahid, anak-anak tetap berjuang
menyelesaikan pendidikan.
Bagi
mereka, perang bukan alasan untuk berhenti belajar. Justru dari situ tumbuh
generasi tangguh berkepribadian Islam.
Kondisi Pemuda di Tanah Air
Sementara
di Indonesia, generasi muda kerap terjebak dalam tekanan sistem kapitalisme.
Tuntutan hidup perfeksionis sekuler kapitalisme membuat mahasiswa harus
memenuhi standar yang tak realistis sehingga mereka menjadi stres. Lemahnya
iman, ketidakpahaman terhadap hakikat hidup, dan rendahnya kesadaran politik
membuat mereka semakin rapuh menghadapi krisis multidimensi.
Padahal,
problem ini tidak bisa diselesaikan secara individual.
Jalan Keluar dari Krisis
Butuh
penyatuan kekuatan umat Islam demi mengakhiri perang di Gaza dan membebaskan
Palestina dari cengkeraman Zionis. Anak-anak bisa kembali merasakan hidup yang
indah di bawah naungan syariat Islam.
Ketangguhan
anak-anak Gaza seharusnya menjadi inspirasi bagi generasi yang terjebak duck
syndrome. Mereka menunjukkan bahwa Islam mampu membentuk generasi kuat, berdaya
juang, dan memiliki tujuan hidup yang jelas.
Karenanya,
penting untuk meneguhkan kembali identitas muslim, membebaskan diri dari
jebakan standar kapitalisme, serta menyadari bahwa perubahan sistem menuju
Islam adalah solusi nyata atas krisis multidimensi yang melanda, termasuk dalam
perjuangan membebaskan Palestina.
Wallahualam
bissawab.
Penulis : Yanyan Supiyanti, A.Md. (Guru/ Pemerhati Palestina)