![]() |
Gedung Postel di jalan Cilaki Kota Bandung |
Jelang Hari Bhakti Postel ke-80 yang
jatuh pada 27 September 2025, ingatan komunal ditarik lagi pada sebuah
perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia. Dalam konteks yang lebih
khusus, utamanya dalam merebut kendali atas layanan komunikasi pos dan
telekomunikasi dari tangan penjajah.
Ingatan itu tak jauh. Cukup dimulai
dari Kantor Pos Indonesia. Ini bukan saja tentang sebuah bangunan yang berdiri
kokoh lebih dari satu abad. Tapi lebih dari itu. Tak cuma karena telah
difungsikan secara konsisten sejak dibangun pada 1920 hingga kini. Namun, ada
sejarah besar di baliknya.
Mengingatnya, setiap orang akan takjub
betapa peruntukannya sedari awal gedung itu digunakan sebagai kantor Post
Telephone dan Telegram, tak pernah bergeser. Ini tak terbantahkan. Tetapi,
nilainya makin besar karena di situlah tersimpan sejarah yang patut diungkap
keheroikannya berulang-ulang.
Maka, tepat ketika peringatan Hari
Bhakti Postel itu terulang pada tahun ini, tak salah jika Corporate Secretary
Pos Indonesia Tata Sugiarta mengajak siapa saja menapak tilas sejarahnya,
sekali lagi. Mengingat kembali bahwa sejarah sangat penting dalam membuat masa
lalu tetap bermakna dan dapat dilanggengkan.
“Sudah sepantasnya kita tak hanya
wajib merawat gedung megah nan bersejarah itu, tetapi bagaimana menjaga Kantor
Pusat Pos Indonesia itu tetap menjadi wahana terbaik bagi jajaran Direksi Pos
Indonesia dan Sub Direktorat Keuangan serta Sumber Daya Manusia, terus berkarya
bakti untuk Indonesia,” tegasnya.
Catatan peristiwa bersejarah itu dapat
ditengok jelas karena terabadikan dalam bentuk Tugu Peringatan Pahlawan PTT
yang berdiri tepat di depan gedung kantor. Tak hanya sebagai tetenger atau
penanda. Setiap orang akan dibuat ingat dengan tanggal 27 September 1945. Ada
apa?
Ketika sekelompok pemuda berani yang
tergabung dalam Angkatan Muda Pos, Telegrap, dan Telepon (AMPTT) berjuang
mempertahankan dan merebut gedung Pos Indonesia. Sebuah simbol perkembangan
komunikasi antardaerah di Indonesia kala itu.
Dituturkan Tata, sejarah itu dimulai
dari sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ketika
semangat perjuangan untuk mengambil alih aset-aset vital dari pemerintahan
Jepang menjalar ke berbagai sektor, termasuk Jawatan PTT.
Pada 3 September 1945, sekelompok
pemuda PTT yang dimotori oleh Soetoko, Slamet Soemari, dan beberapa nama
lainnya mengadakan pertemuan.
“Mereka sadar betul bahwa Jawatan PTT
memiliki peran krusial dalam menyebarkan informasi dan menghubungkan seluruh
wilayah Indonesia,” kata Tata.
Saat itu, Komandan Pasukan Jepang
menginstruksikan bahwa penyerahan Kantor Pusat PTT harus diserahkan kepada
Sekutu, bukan kepada bangsa Indonesia. Kondisi ini memicu kekhawatiran para
pemuda PTT. Tak tunduk menyerah begitu saja, mereka bertekad mengambil alih
kantor pusat. Paling lambat akhir September 1945.
Merespons instruksi Jepang, Soetoko,
Ismojo, dan Slamet Soemari berkumpul pada 23 September 1945. Mereka menyusun
strategi demi merebut kekuasaan PTT. Keputusan penting diambil: meminta Mas
Soeharto dan R. Dijar berunding dengan pihak Jepang. Tujuannya, agar penyerahan
dilakukan secara damai. Jika perundingan gagal, mereka tidak ragu menempuh
jalan kekerasan dengan bantuan dari rakyat yang siap berjuang bersama.
![]() |
Inilah tugu sejarah Postel di jalan Cilaki Kota Bandung |
Meski kecewa, para pemuda AMPTT
melaksanakannya. Mengibarkan Sang Saka Merah Putih dengan khidmat di tiang
khusus tepat di atas lokasi tugu. Untung, kegagalan negosiasi ini tidak lantas
memadamkan semangat. Sebaliknya, justru makin menguatkan tekad para pejuang
dalam merebut Jawatan PTT dengan cara apa pun.
Untuk menyatukan kekuatan, pada 26
September 1945, AMPTT membentuk kepengurusan. Soetoko ditunjuk sebagai ketua.
Menyadari pentingnya koordinasi yang efektif dalam perebutan kekuasaan, Soetoko
dibantu tiga wakil, yaitu Nawawi Alif, Hasan Zein, dan Abdoel Djabar.
Pada hari yang sama, anggota AMPTT
disebar untuk mencari dan mengumpulkan segala peralatan serta senjata. Dukungan
dari berbagai pihak mengalir deras. Penduduk tua dan muda serta organisasi
perjuangan lainnya yang berada di dekat Kantor Pusat PTT, menyatakan kesediaan
untuk membantu. Semangat kebersamaan ini menjadi fondasi yang kuat bagi
perlawanan yang segera dilancarkan.
Hari yang dinanti itu tiba. Pada 27
September 1945, untuk kesekian kalinya, Mas Soeharto dan R. Dijar kembali
berunding dengan pimpinan Jepang di Kantor Pusat PTT. Hasilnya tetap sama,
gagal. Pihak Jepang tidak mau menyerahkan kekuasaan begitu saja.
“Dari berbagai literatur menyebutkan,
tekad AMPTT sudah bulat. Mereka memutuskan bahwa pada hari itu, kekuasaan atas
Jawatan PTT harus direbut. Tidak peduli apa pun pengorbanan yang harus
diberikan. Mereka segera menyiapkan persenjataan, mengerahkan rakyat, dan massa
pun berkumpul di halaman selatan gedung,” jelas Tata.
Pasukan AMPTT yang dipimpin Soewarno
berhasil mengepung kantor dan memasuki ruangan yang dikuasai Jepang. Mereka
membuat pihak Jepang tidak berdaya. Akhirnya, para pimpinan Jepang dengan
sukarela menyerahkan pedang mereka sebagai tanda menyerah.
Setelah penguasaan berhasil, sekitar
pukul 11.00 WIB, Soetoko maju ke depan massa bersama Mas Soeharto dan R. Dijar.
Ia membacakan teks bersejarah yang berisi pernyataan pengangkatan Mas Soeharto
sebagai Kepala Jawatan PTT dan R. Dijar ditunjuk sebagai wakil, atas nama
seluruh pegawai PTT.
Setelah pembacaan pernyataan, beberapa
pemuda di bawah pimpinan Soewondo menurunkan bendera Jepang. Sebagai gantinya,
mereka mengibarkan bendera Merah Putih di tiang yang sama. Berkumandanglah lagu
kebangsaan Indonesia Raya mengiringi momen sakral itu.
Demikianlah. Peristiwa itu menjadi
tonggak penting dalam sejarah bangsa. Tentang betapa heroiknya Jawatan PTT
berhasil direbut dan dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.
Kini, di gedung yang dirancang arsitek
J. Herberg pada 27 Juli 1920 itu, terdapat museum. Saksi bisu perjalanan
panjang Pos Indonesia. Didirikan pada 1931 dengan nama awal Museum PTT,
keberadaannya sempat terlupakan akibat gejolak revolusi.
Berkat inisiatif Direksi Perum Pos dan
Giro, museum dihidupkan kembali dan diresmikan pada 27 September 1983 atau pada
peringatan Hari Bhakti Postel ke-38. Seiring dengan perubahan status
perusahaan, namany akini bergeser menjadi Museum Pos Indonesia.
Di situ, pengunjung dapat melihat
berbagai koleksi bersejarah. Mulai dari prangko dari berbagai negara, peralatan
pos zaman dulu, hingga diorama yang menggambarkan perjalanan layanan pos di
Indonesia.
”Semua koleksi ini merupakanbukti
nyata bagaimana Jawatan PTT -kini menjadi PT Pos Indonesia- memiliki peran
vital dalam membangun konektivitas dan persatuan bangsa hingga saat ini,”
katanya.
Ditegaskan Tata, perjuangan yang
digambarkan para pemuda AMPTT di gedung itu menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak
hanya tentang Proklamasi. Tetapi tentang pengambilalihan dan pengelolaan
aset-aset vital oleh bangsa sendiri. Sebuah kehormatan yang sangat mahal,
bukan. (*).