Hal tersebut ia sampaikan pada
paparannya sebagai narasumber dalam kegiatan Pertemuan Lintas Sektor Program
Penanggulangan TBC Kota Bandung, di Hotel UTC Dago, Rabu, 22 Oktober 2025.
Menurut Iman, TBC memiliki dampak
multidimensional selain aspek medis. Penyakit ini juga berpengaruh pada aspek
ekonomi, aspek sosial, dan aspek pembangunan.
Sehingga, dalam upaya penanggulangan
TBC dibutuhkan peran koordinasi dan kolaborasi multisektoral kedinasan dengan
melibatkan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Bagian Kesejahteraan Rakyat, serta
unsur kewilayahan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
“Penanganan TBC tidak bisa dilakukan
secara instan. Kita harus memulainya dari langkah promotif dan edukatif kepada
masyarakat. Karena ketika seseorang terjangkit TBC, ia berpotensi menularkan
penyakit ini kepada keluarga dan bahkan ke masyarakat yang lebih luas,”
ujarnya.
Iman menuturkan, berdasarkan data
evaluasi Dinas Kesehatan tahun 2023, tercatat 63 orang positif TBC dari sekitar
200 orang suspek di wilayah Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astana Anyar,
Kota Bandung.
Sedangkan, secara nasional, setiap
lima tahun rata-rata dua orang meninggal akibat TBC. Kondisi ini menunjukkan
bahwa TBC masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia,
termasuk di Kota Bandung.
Iman menilai, upaya edukasi harus
menjadi garda terdepan dalam penanganan TBC. Selain itu, perhatian juga perlu
diberikan kepada masyarakat yang telah terinfeksi, terutama terkait aspek
sosial dan ekonomi.
“Ketika seseorang sakit TBC,
pengobatannya harus dijalani selama enam bulan. Jika tidak tuntas, dapat
menimbulkan resistensi obat dan harus mengulang dari awal. Ini tentu berdampak
besar pada kondisi ekonomi dan sosial pasien. Karena itu, kolaborasi antara
Dinsos, Dinkes, dan pihak terkait lainnya sangat diperlukan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Iman menekankan bahwa
penanganan TBC tidak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah semata.
Diperlukan sinergi multihelix, yang melibatkan seluruh unsur, mulai dari
pemerintah, lembaga pendidikan atau akademisi, dunia usaha, komunitas, media,
hingga masyarakat.
“Urusan kesehatan bukan hanya milik
pribadi, tapi milik kita bersama. Kalau Kota Bandung ingin sehat, maka seluruh
unsur harus bergerak. Tahun depan, semua pengurus RW, kader, dan masyarakat
harus ikut melakukan screening sejak dini untuk meminimalisir penularan,”
tuturnya.
Ia juga menyoroti pentingnya
koordinasi yang kuat antarinstansi agar tidak terjadi ego sektoral dalam
penanganan TBC.
“Ada keluhan dari Dinas Sosial yang
belum memiliki ruang isolasi atau dokter pendamping, padahal itu bersinggungan
dengan kewenangan Dinas Kesehatan. Ini menunjukkan perlunya koordinasi yang
lebih solid. Dan dalam hal ini panglimanya harus wali kota langsung, agar
sinergi lintas sektor benar-benar berjalan efektif,” ujarnya.
Iman menambahkan, DPRD Kota Bandung
akan terus mendorong penguatan kebijakan dan alokasi anggaran dalam upaya
penanggulangan TBC, baik pada aspek promotif, preventif, maupun kuratif.
Selain itu, arah kebijakan dan
rekomdasi DPRD Kota Bandung yaitu, penguatan koordinasi lintas OPD melalui
forum PTBC Kota Bandung, integrasi program penanggulangan TBC dalam RKPD dan
APBD Kota Bandung, mendorong public private partnership dalam sektor kesehatan,
dan peningkatan kapasitas SDM kesehatan dan para kader.
Dengan demikian, diharapkan segera
dibentuk penguatan data kesehatan Bandung sebagai basis kebijakan, digitalisasi
pelacakan kasus dan pelaporan penhobatan, dan integrasi dengan smart city
ecosystem untuk monitoring dan evaluasi.
“Semoga tidak terjadi kejadian luar
biasa (KLB) di Kota Bandung. Namun yang terpenting, kita harus memiliki
semangat bersama bahwa kesehatan adalah tanggung jawab bersama. Dengan edukasi
dan sosialisasi yang terus dilakukan, saya yakin kita bisa mencapai target
eliminasi TBC tahun 2030,” katanya. (Cipta/sein).
