![]() |
Siswa korbang santap MBG ( foto:dok.antara) |
Alih-alih meningkatkan gizi anak-anak
sekolah, program ini justru diduga menjadi penyebab ratusan siswa mengalami
keracunan massal di berbagai daerah di Jawa Barat, termasuk yang terbaru di
Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.
Peristiwa ini langsung memantik
perhatian banyak pihak. Ratusan siswa dari berbagai jenjang pendidikan — mulai
dari PAUD, SD, SMP, hingga SMA/SMK — dilaporkan mengalami gejala keracunan
seperti muntah-muntah, pusing, dan mual usai menyantap makanan yang disediakan
dalam program MBG. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat pun bergerak cepat dengan
menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) demi mempercepat penanganan kasus.
Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi
PDI Perjuangan, H. Memo Hermawan, menyatakan keprihatinan mendalam atas kejadian
ini. Ia mendesak pemerintah untuk segera menghentikan sementara pelaksanaan
program MBG di wilayah terdampak dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap
sistem pengelolaan dan pengawasan program tersebut.
“Musibah ini sangat memprihatinkan.
Program yang seharusnya menyehatkan justru membahayakan. Maka dari itu, saya
meminta agar pelaksanaannya dihentikan dulu dan dievaluasi secara menyeluruh.
Jangan sampai kejadian serupa terulang,” tegas Memo Hermawan, saat ditemui di
Gedung DPRD Jabar, Rabu (24/9/2025).
Tujuan
Mulia yang Ternoda
Program MBG sejatinya dirancang untuk
menjawab tantangan pemenuhan gizi bagi kelompok rentan, termasuk anak sekolah,
ibu hamil, dan balita, dalam rangka menurunkan angka stunting dan malnutrisi.
Lebih dari itu, MBG juga diharapkan mampu memberdayakan UMKM lokal, menciptakan
lapangan kerja, dan mengurangi beban ekonomi keluarga.
Namun, pelaksanaan di lapangan justru
jauh dari harapan. Kasus-kasus keracunan yang berulang kali terjadi menjadi
bukti bahwa ada masalah serius dalam rantai produksi dan distribusi makanan
MBG. Dugaan awal mengarah pada buruknya pengawasan terhadap kualitas bahan
baku, higienitas dapur, dan proses penyajian.
Usulan
Investigasi Independen
![]() |
Orang tua siswa sedih dan prihatin melihat kondisi anaknya korban MBG (foto;ist) |
Memo Hermawan, yang juga menjabat
sebagai Sekretaris Komisi I DPRD Jabar, mendorong dibentuknya tim investigasi
independen. Menurutnya, data di lapangan harus diperoleh secara langsung dari
masyarakat, bukan hanya berdasarkan laporan administratif dari pihak pelaksana.
“Perlu ada tim investigasi independen
yang turun langsung ke lokasi. Cek kondisi dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan
Gizi (SPPG), cek bahan bakunya, sistem distribusinya. Jika ditemukan kelalaian,
maka SPPG bersangkutan harus ditutup dan kontraknya dihentikan oleh Badan Gizi
Nasional (BGN),” tegasnya.
Kritik
Publik dan Kekhawatiran Orang Tua
Tak hanya kalangan legislatif,
kritikan juga datang dari masyarakat sipil. Indonesia Corruption Watch (ICW)
menilai bahwa tata kelola program MBG sangat buruk dan minim pengawasan. Hal
ini dinilai membuka celah terjadinya penyimpangan dan membahayakan masyarakat,
khususnya anak-anak sekolah.
Kekhawatiran juga merebak di kalangan
orang tua siswa. Banyak di antara mereka yang mengaku cemas dan memutuskan
untuk melarang anak-anaknya mengonsumsi makanan dari program MBG, setidaknya
hingga situasi benar-benar aman dan jelas.
Menanti
Tindakan Tegas Pemerintah
Kasus keracunan massal akibat MBG
menjadi ujian besar bagi pemerintah daerah maupun pusat. Di satu sisi, program
ini punya misi strategis untuk menyehatkan dan mencerdaskan generasi bangsa.
Namun di sisi lain, implementasi yang lemah justru berpotensi merusak
kepercayaan publik dan membahayakan nyawa anak-anak.
Kini, semua mata tertuju pada langkah
konkret pemerintah: apakah akan ada perbaikan sistem, atau hanya sekadar
pernyataan normatif tanpa tindak lanjut? Satu hal yang pasti, keselamatan dan
kesehatan anak-anak harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai cita-cita
mencetak Generasi Emas 2045 justru dirusak oleh program yang gagal dikelola
dengan baik. (dbs/sein).